Catatan dari Pengamen
Pada: 11/11/2020
Tiba-tiba saya terkenang saat masih jadi pelanggan setia bus 106 jurusan Senen-Poris. Bus itu saat ini sudah tidak beroperasi lagi. Sepertinya pendapatan yang diperoleh tidak lagi mampu menutupi biaya operasionalnya. Terpaksa ditutup pula usahanya.
Apa yang terkenang dari bus itu? Terutama adalah soal pengamennya. Sekali naik, kita bisa bertemu lebih dari empat atau lima pengamen naik turun bus. Bahkan kursi bus deretan belakang itu sering menjadi tempat antri para pengamen. Begitu selesai pengamen satu, dilanjutlah show pengamen-pengamen berikutnya dengan gayanya masing-masing.
Ngamen saja ada antrinya... luar biasa ya! Mungkin ini cerminan ibu kota yang belum sepenuhnya berhasil menampung kalangan yang termarginalkan atau mengatasi masalah sosial kemasyarakatan secara umum. Saya tak mau mengatakan hal itu adalah kegagalan pemerintah. Nanti dikira politis. Para pengamen sendiri sering mengatakan, "Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri."
Oke, kembali ke pokok cerita! Apa yang pertama kali terpikir di benak Anda ketika mendengar kata pengamen? Asyik, seru, menghibur, dan mengharap kedatangannya kembali? Ah, pasti Anda sedang bercanda. Umumnya masyarakat masih memiliki kesan negatif terhadap para pengamen.
Saya pikir, para pengamen memang gagal mencitrakan diri mereka. Banyak di antara mereka yang berperilaku kurang sopan, sesekali mengganggu, memaksa, dan kadang meresahkan. Mereka bernyanyi seadanya dan kadang penampilannya pun membuat orang jadi takut. Padahal itu yang mereka "jual". Memang ada juga yang sopan, bernyanyi dengan penuh penghayatan dan alat musik yang mendukung, serta berpenampilan rapi pula. Tapi itu sedikit.
Sebenarnya wajar juga ya, kalau pengamen tidak berhasil dalam masalah pencitraan. Jangankan mereka, para politisi yang sudah memakai konsultan komunikasi pun sering gagal dalam pencitraan. Iya, nggak?
Bagaimana kesan saya sendiri terhadap pengamen? Awalnya saya pun amat terganggu dengan kehadiran mereka. Bayangkan, dalam suasana pulang kerja dengan pikiran yang sudah kusut dan lelah, di dalam bus yang penuh sesak dan kita sedang terkantuk-kantuk, tiba-tiba datang pengamen. Mereka bernyanyi atau berteriak keras-keras minta diperhatikan. Sangat mengganggu, bukan? Namun lama-kelamaan saya bisa cuek juga. Bahkan merasa aneh jika suatu ketika naik bus tak ada pengamennya sama sekali. "Apa mereka sedang mogok massal?" pikir saya.
Jadi, kita memang harus bisa legowo menerima kehadiran mereka. Yang penting kita tak salah dalam bersikap. Setiap pengamen tentu berharap agar kita memberikan uang sekedarnya. Tapi terus terang saya belum tentu melakukannya. Kadang karena saya sedang tak memegang uang kecil atau memang sedang tak ikhlas memberi. Kriteria untuk memberi atau tidak biasanya saya lihat dari kesungguhan upaya sang pengamen atau dari penampilannya yang memang terlihat membutuhkan (meski yang terakhir ini bisa menipu).
Bagi Anda yang belum bisa sepenuhnya bersikap dermawan seperti saya, inilah letak masalahnya. Pengamen bisa saja berbuat tidak simpatik dan bahkan memaksa jika kita tak memberinya uang. Karenanya, selain selalu memastikan ketersediaan uang kecil, kita harus bisa membaca perilaku mereka. Jika memang ada potensi perilaku negatif atau membahayakan, lebih baik kita tetap memberi meski tak sesuai kriteria.
Omong-omong, ada yang menarik dari gaya komunikasi para pengamen ibu kota. Saya menduga, mereka ini sebenarnya terorganisir dengan baik. Buktinya, ada beberapa kalimat standar yang sering mereka ucapkan. Dan setelah melalui beberapa kali perenungan, saya menemukan sisi positif dari kalimat-kalimat mereka itu. Saya ambil tiga saja contoh kalimatnya.
Pertama, mereka sering berucap, “Lapar tuan lapar nyonya, kita sama-sama punya perut, sama-sama bisa lapar!” Kalimat ini begitu gamblang mengingatkan kita akan hakikat persamaan derajat, harkat, dan martabat manusia. Kedudukan manusia di mata Tuhan adalah sama. Pembedanya adalah pada keteguhannya dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Selanjutnya, pengamen sering menjustifikasi pilihan mereka mengamen dengan berkata, “Lebih baik kami ngamen daripada menodong, mencopet, atau menjambret. Itu bukan karakter kami!” Pernyataan ini mengingatkan bahwa kita harus selalu berusaha memilih yang terbaik. Bahkan ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan buruk pun, kita harus bisa memilih yang terbaik di antara yang buruk itu. Jangan menyerah pada keadaan! Luar biasa, bukan?
Nah, ada lagi kalimat yang bagi saya nuansanya amat religius. “Ikhlas dari Anda, halal buat kami,” pungkas pengamen menutup show mereka. Bukankah dalam agama, kita memang selalu diajarkan untuk beramal secara ikhlas dan mencari rejeki yang halal? Jangan-jangan korupsi di negara kita ini bisa berkurang jika para pejabatnya mau naik angkutan umum sembari mendengar nasihat para pengamen!